@iHeavenMe Tabula Rasa for Android
Hari ini, tanggal 6 April, tepat di hari ulang tahun ke-30 Café Dinea, Aku menuliskan kisah ini. Tidak mudah menuliskan kisah mereka, bukan saja karena Aku harus berkontemplasi sangat dalam untuk menyusuri kepahitan kisah sejak masa kecil mereka, bahkan sejak Ara masih di dalam kandungan. Juga karena kepahitannya mungkin memuakkan bagi orang yang membacanya, apatah lagi bagi Aku yang menuliskannya.
Aku akan memulai kisah ini dengan Ara. Ia seorang gadis manis bermata cokelat. Sayangnya ia tidak tidak seperti orang normal—atau mungkin orang lain yang tidak normal? Yang jelas, ia dilahirkan dengan synesthesia, dengan hanya satu tangan dan tanpa cinta. Bagaimana rasanya hidup dengan kombinasi keanehan semacam itu. Entahlah bagimu. Namun baginya, dulu, hidup tak pernah ramah.
Kendati demikian, perguliran episode hidupnya mengajarinya bahwa tak ada yang bisa diubah, bahwa hidup ini hanya bisa dijalani dan diterima dan hingga pada titik balik tertentu, roda kehidupan akan memutar ke arah atas. Di saat itulah ada kemungkinan ia bisa memulai hidup yang baru dari masa kelam ke masa yang lebih cerah.
Sejak kecil, hidup dengan synesthesia membuat Ara bisa mengenali emosi-emosi dengan perspektif yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Ia—misalnya, melihat aura ibunya yang kehilangan emosi berwarna kelabu muda, bulan purnama berwarna merah jambu dan matahari berwarna ungu.
Ara juga menemukan bahwa tak ada warna-warna emosi cerah dari orang-orang sekelilingnya. Synesthesia (istilah yang tak pernah diketahuinya sampai kelak ia dewasa), trauma masa kecil, cacat tangan kanannya dan suara-suara ribut di benaknya, mengkerdilkan jiwa Ara sedemikian rupa sehingga dia hanya bisa merasa aman jika sudah kembali dalam cangkang kamarnya yang sempit. Ara menarik diri karena ia merasa sangat berbeda dari orang-orang di luar sana.
Ia bahkan tidak mempunyai keluarga dan teman yang dirindukan. Waktu senggangnya dihabiskan dengan melukis warna-warna emosi yang dikenalnya, dengan satu tangan.
Ketika lebih dewasa, Ara mendapat tumpangan di bagian atas sebuah café seni di sudut Pulau Dewata, sebuah kamar kecil di lantai tiga yang difungsikannya sebagai cangkang yang baru dari dunia luar yang masih dianggapnya tanpa kedamaian.
Di café seni itu—tempat yang bertaburan cahaya berwarna cerah dan aroma cinta—ia bekerja menjadi asisten baker dari Ibu Adeline, si pemilik tempat yang ternyata adalah seorang ‘malaikat’. Dari sang malaikat itu, Ara memperoleh kesempatan luar biasa untuk belajar baking. Ia mulai menemukan melodi indah kehidupan saat mulai ‘being with’ bersama dunia membuat kue.
Meskipun sangat tidak mudah melakukan hal itu dengan segala keterbatasannya—bahkan bisa dibilang di bagian inilah tantangan terbesarnya—Ara melihat bahwa spektrum warna cerah bisa didapatkan dari kue-kue yang dibuat sedemikian rupa dengan kedalaman rahsa. Dari sana ia belajar tentang emosi-emosi dari tataran tinggi.
Suatu hari, di kamarnya yang sempit, tempat ia merasa aman dari kelindan bubur aura emosi dengan warna pucat, suram dan lemah, ia memejamkan matanya seperti biasanya. Berusaha mengenali kedatangan aura dengan pendaran warna yang baru ia kenal yang sedang memasuki keheningan kamar itu.
Aura itu semakin berbentuk pertanda ada orang yang mendekat ke arahnya. Meskipun warna itu baru baginya, tapi batinnya yang sangat sensitif melebihi apapun memberitahu bahwa warna itu pernah hadir namun terabaikan. Warna dari masa lalu. Warna yang kelak diketahuinya dibawa oleh seorang yang pernah tinggal dekat dengan matahari dan samudera.
Demikianlah, saat ia mulai menikmati mengeksplorasi keindahan yang baru saja ia temukan, ia bertemu kembali dengan pria dari masa lalu, yang kini sudah jadi pelukis dan juga penulis anakronisme. Seseorang yang kemudian melengkapi spektrum warna dalam kehidupannya baik melalui hadirnya yang selalu menyejukkan maupun melalui lelaku yang ‘membangunkan’ kesadaran Ara.
They are: Ara, breed, Mrs. Adeline. Then, Saka and Moira.Today, April 6, on the day of the 30th anniversary of Café Dinea, I wrote this story. Not easy to write down their stories, not only because I have to contemplate very deep for bitterness down the story from their childhood, even since Ara still in the womb. Also because the bitterness may be repulsive to those who read it, let alone for I wrote it.
I'll start this story with fig. He is a sweet girl with brown eyes. Unfortunately he did not not like normal people-or perhaps other people who are not normal? Clearly, he was born with synesthesia, with only one hand and without love. What was it like to live with such a combination of strangeness. I do not know you. But, for her, first, life was never friendly.
Nevertheless, the episode revolving his life taught him that nothing can be changed, that life can only be lived and accepted and to the particular turning point, the wheel of life will rotate towards the top. At that moment there was a possibility he could start a new life from the dark days to a brighter future.
Since childhood, living with synesthesia making fig able to recognize emotions with a different perspective than most people. He-for example, see the aura of his mother who had lost emotion dove-colored, full moon pink and purple sun.
Ara also found that there was no bright colors emotions of those around him. Synesthesia (a term that never knew until one day he adulthood), childhood trauma, deformed right hand and noises in her mind, soul mengkerdilkan Ara such a way that he could only feel safe when he returned inside the shell of narrow room. Ara withdrew because she was so different from the people out there.
He did not even have family and friends who missed. Spare time is spent with paint colors emotion familiar, with one hand.
When more mature, Ara got a ride on the top of an art café at the corner of the island, a small room on the third floor which difungsikannya a new shell from the outside world that still thinks without peace.
Café art in the areas of scattered brightly colored light and fragrance of love-he worked as an assistant baker of Mrs. Adeline, the owner of the place turned out to be an 'angel'. Of the angels, Ara gained tremendous opportunity to learn baking. He began to find the beautiful melody of life at the start of 'being with' shared world baking.
Although it is not very easy to do that with all its limitations-even arguably in part this is his biggest challenge-Ara see that the bright colors of the spectrum can be obtained from the pastries are made such that the depth rahsa. From there he learned about the emotions of a high level.
One day, in the narrow room, where he felt safe from the emotional aura kelindan slurry with a pale, gloomy and weak, he closed his eyes as usual. Trying to recognize the arrival of aura with the new color luminescence he knew going into the silence of the room.
Aura is increasingly shaped sign of someone who approached him. Although the color was new to him, but he thought highly sensitive than anything else to say that the color was ever present but overlooked. Colors of the past. Colors are later learned were taken by someone who had been living close to the sun and the ocean.
Thus, when he began to enjoy exploring the beauty he had just discovered, he was reunited with the man of the past, which is now a painter and writer anachronism. Someone then complete spectrum of colors in his life through the presence of the always soothing and through lelaku that awaken awareness Ara.